Sumber: Rahmani,
N. 2011. Pengajar Cerdas dengan Joyful Learning. http://www.bppk.depkeu.go.id
Dunia pendidikan dan pelatihan (diklat)
merupakan dunia yang penuh warna warni. Dunia diklat juga merupakan dunia yang
sangat strategis sehubungan dengan kemajuan sumber daya manusia. Oleh karena
itu, pendidikan dan pelatihan memerlukan penanganan yang serius dan
sungguh-sungguh. Di samping itu, ia juga memerlukan sentuhan-sentuhan kreatif
dan imajinatif yang sejalan dengan “apa adanya” manusia serta “kekinian” zaman.
“Apa adanya” manusia merujuk kepada penanganan diklat yang menyentuh semua
bagian diri manusia yang terdiri atas fisik, pikiran dan hati. Sedangkan
“kekinian” zaman merujuk kepada pendidikan dan pelatihan yang aplikatif dan mengadaptasikan
dirinya terhadap kondisi saat ini, baik dari segi isi, metode maupun manfaat.
Ada banyak teori yang dikemukakan para pakar
untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan. Salah satu metode yang
berusaha mengakomodir kepentingan fisik, pikiran dan hati manusia sesuai
situasi dan kondisi saat ini adalah metode Joyful Learning
(pembelajaran yang menyenangkan).
Apa itu Joyful Learning?
Joyful Learning merupakan metode pembelajaran yang melibatkan
rasa senang, bahagia, dan nyaman dari pihak-pihak yang sedang berada dalam
proses belajar mengajar. Di sini terdapat keterikatan cinta dan kasih sayang
antara fasilitator dan peserta diklat maupun antar peserta diklat. Tak ubahnya
seperti ikatan cinta antara sepasang kekasih, keterikatan hati di dalam proses
belajar mengajar akan membuat masing-masing pihak berusaha memberikan yang
terbaik untuk menyenangkan pihak lain. Fasilitator dengan semangat
menggebu-gebu akan berusaha optimal memimpin kelas dengan cara yang paling
menarik, sedangkan peserta dengan antusias dan berlomba-lomba ikut aktif ambil
bagian dalam setiap kegiatan. Dengan demikian, Joyful Learning menjadi
sarana yang membuat fasilitator maupun peserta diklat menjadi betah menjalani
sesi demi sesi pelajaran sehingga hasilnya akan maksimal.
3 Gaya Belajar
Dalam metode joyful learning, pengajar yang
merupakan fasilitator mencari bahan-bahan dan alat-alat pengajaran yang paling
menarik perhatian para peserta diklat. Ia juga menerapkan kegiatan-kegiatan
yang dapat membuat kelas menjadi bergerak dan dinamis. Untuk itu, seorang
fasilitator terlebih dahulu perlu memahami perbedaan gaya belajar peserta
diklat.
Secara garis besar, ada tiga gaya belajar (learning
style), yaitu audio, visual dan kinestetik. Orang yang memiliki gaya
belajar audio lebih tertarik dan memahami pelajaran yang disampaikan dengan
suara. Sedangkan orang dengan gaya belajar visual cenderung lebih mudah dan
cepat menerima informasi melalui penglihatannya, baik berupa tulisan maupun
gambar. Selanjutnya, pembelajar kinestetik sangat senang belajar dengan
aktifitas fisik yang langsung bersentuhan dengan objek yang dipelajari.
Dengan mempertimbangkan beragamnya gaya belajar
tersebut, maka bahan, alat dan kegiatan yang dipilih melibatkan sebanyak
mungkin indera. Hampir mustahil untuk membagi-bagi kelas peserta berdasarkan
perbedaan gaya belajar mereka. Oleh sebab itu, maka bahan, alat dan kegiatan
yang digunakan dikompilasi agar dapat mengakomodir gaya belajar seluruh peserta
diklat. Beberapa saat fasilitator menyampaikan materi dengan suara. Selain itu
ia juga menampilkan tulisan, gambar atau rekaman video. Di saat yang lain ia
mengajak peserta bermain peran, games atau mengadakan lomba. Tak
terkecuali dalam proses ini melakukan aktivitas-aktivitas yang “heboh” seperti
bertepuk tangan, menyanyi, berlari, dan sebagainya. Semua ini tidak hanya akan
membuat kelas menjadi hidup, namun juga menyalurkan kebutuhan ketiga gaya
belajar di atas. Semakin banyak indera yang terlibat, semakin baik proses
penyerapan materi.
Dalam dunia modern saat ini, tidaklah sulit
mencari bahan-bahan maupun games yang berguna untuk pengajaran. Dengan
hanya mengklik beberapa website di internet ditambah dengan ide-ide
segar dan kreatif, seorang fasilitator dapat memperoleh ribuan bahan dan games
siap pakai.
Tidak perlu khawatir menggunakan games
yang biasa dimainkan anak-anak. Bahkan orang dewasapun butuh bermain. Tak heran
jika di banyak tempat kita melihat orang-orang kantoran sedang asyik
main Play Station, Point Blank, zuma, dan berbagai games lainnya.
Mengapa? Karena main game itu mengasyikkan, bisa membuat orang lupa
waktu dan tempat. Begitu juga jika hal ini diterapkan dalam proses
pembelajaran. Bukan hanya menghindarkan kejenuhan dan rasa kantuk,
kegiatan-kegiatan yang “heboh” seperti ini akan meninggalkan kesan yang lama
dalam memori peserta diklat. Tentu saja games yang dipilih disesuaikan
dengan topik yang sedang dibicarakan.
Setelah selesai melakukan sebuah game
atau kegiatan tertentu, fasilitator kemudian mencari feedback dari
peserta. Diskusi tentang refleksi atau makna dari kegiatan atau game
yang telah dimainkan akan merangsang imajinasi peserta. Berbagai pendapat akan
muncul sehingga makin memperkaya wawasan dan ilmu.
Kegiatan seperti ini juga dapat menghindarkan
fasilitator dari kesan menggurui. Apalagi mengingat bahwa para peserta diklat
adalah orang dewasa yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu,
fasilitator membuka kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta untuk
memberikan pendapat. Menahan diri untuk tidak “mengajari” mungkin akan sulit.
Namun boleh jadi fasilitator akan terkejut dengan kehebatan dan kepintaran
peserta menyelesaikan suatu masalah. Bahkan pendapat mereka bisa jadi lebih
baik dan tepat dengan situasi aktual. Jika begitu, mengapa menyusahkan diri
sendiri untuk menjadi orang paling pintar?
Keseimbangan Otak Kiri dan Otak Kanan
Teori tentang pembagian otak kiri dan otak
kanan serta perbedaan fungsi kedua hemisphere otak tersebut dikemukakan
oleh seorang peneliti bernama Roger Sperry. Otak kiri identik dengan rapi,
angka, tulisan, bahasa, hitungan, logika, analitis, matematis dan sistematis.
Proses berpikirnya bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Sedangkan
otak kanan identik dengan kreativitas, persamaan, khayalan, bentuk atau ruang,
emosi, musik dan warna serta cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail.
Cara berpikirnya bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik.
Kedua belahan otak ini penting. Oleh karena
itu, pembelajaran yang baik adalah yang melibatkan keduanya. Mengapa? Karena
kedua belahan otak memerlukan aktivitas yang seimbang untuk menghindari
kelelahan. Sistem pembelajaran dengan metode ceramah, misalnya, lebih banyak
merangsang kerja otak kiri. Jika ini berlangsung selama berjam-jam, maka otak
kiri dipaksa melakukan aktivitas yang berlebihan, sementara otak kanan
dibiarkan menganggur. Tidak hanya membuatnya kelelahan, aktivitas berlebihan
memaksa otak kiri agar mengambil nutrisi makanan berupa oksigen dan glukosa
dari otak kanan. Ini mengakibatkan otak kanan kekurangan nutrisi. Untuk
memenuhi kebutuhannya, otak kanan memerintahkan pemiliknya untuk mendapatkan
oksigen dan glukosa dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Alhasil, mulailah sang
pemilik otak melakukan aksi mengkhayal atau melamun, coret-coret, bercanda, dan
sebagainya. Ini merupakan konsekwensi dari pemenuhan kebutuhan otak kanan
terhadap nutrisi tadi.
Jika hal itu terjadi ketika proses pembelajaran
sedang berlangsung, sesungguhnya fasilitator tidak dapat menyalahkan peserta.
Sebaliknya, ia sesegera mungkin menerapkan metode pengajaran yang berbeda untuk
mendapatkan kembali semangat dan perhatian peserta. Mencari aktivitas-aktivitas
yang dibutuhkan oleh otak kanan akan menjadi solusi yang jitu. Kegiatan yang
berhubungan dengan hiburan semisal menyanyi, pemutaran video klip lucu, bermain
peran, games atau lomba merupakan beberapa alternatif yang dapat
digunakan.
Demikian pula sebaliknya. Proses pembelajaran
yang terlalu banyak menstimulasi fungsi otak kanan akan membuatnya kelelahan.
Alih-alih menikmati games yang dimainkan terus menerus, peserta lebih
memilih membaca buku atau modul, mencatat, diskusi dengan teman tentang
pelajaran, dan sebagainya.
Metode Joyful Learning menyeimbangkan
antara fungsi otak kiri dan otak kanan. Seimbang berarti kedua-duanya
diaktifkan. Tidak perlu menunggu hingga salah satu hemisphere otak
mengalami kelelahan seperti contoh di atas. Oleh karena itu, sebelum masuk
kelas seorang fasilitator seyogyanya telah mendisain bahan, alat dan kegiatan
yang diperhitungkan dapat merangsang kerja otak kiri dan kanan di sepanjang
pertemuan.
Satu aktivitas bisa jadi dapat mengaktifkan
otak kiri dan otak kanan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Misalnya,
pemutaran video yang disertai dengan ilustrasi dan penjelasan detil tentang
suatu masalah. Atau memberi tugas hitungan (pajak, bea masuk atau cukai,
misalnya) dengan bermain peran, dimana setting tempat dibuat sama seperti di
kantor. Termasuk juga menghapal rumus melalui lagu atau dengan memainkan game
tertentu, lalu mendiskusikannya.
Untuk keperluan ini, seluruh bagian dalam
ruangan kelas bisa dimanfaatkan. Dinding kelas dapat ditempeli kertas yang
berisi tulisan-tulisan maupun gambar-gambar warna warni yang berhubungan dengan
pelajaran dan motivasi. Meja-kursi dapat dipindah-pindah untuk melakukan
aktivitas tertentu dan untuk menghindari kejenuhan. Pendeknya, mengoptimalkan
fungsi kedua bagian otak.
Pentingnya Memuji
Banyak teori pendidikan yang menyatakan bahwa
materi pelajaran akan tahan lama dalam ingatan ketika proses pembelajaran
dikaitkan dengan emosi positif yang kuat. Disebutkan pula bahwa stres,
kebosanan, kebingungan, motivasi rendah dan kecemasan dapat mengganggu proses
belajar.
Metode joyful learning menciptakan
suasana yang segar dan jauh dari perasaan tertekan. Dengan kepiawaiannya,
fasilitator menghadirkan kegembiraan dalam proses pembelajaran. Ia dan para
peserta saling support dan saling transfer energi positif.
Satu hal yang dapat memberi efek positif kuat
dalam emosi seseorang adalah pemberian pujian. Secara naluriah, orang senang
dipuji. Pujian dapat membuat orang merasa bangga terhadap dirinya. Pujian juga
dapat menimbulkan dan meningkatkan rasa percaya diri. Akibatnya orang tersebut
akan termotivasi untuk melakukan suatu pekerjaan dengan lebih baik.
Selain itu, pujian fasilitator terhadap peserta
diklat dapat menimbulkan rasa suka dan kedekatan. Rasa suka menjadi pintu
gerbang yang sangat baik untuk memunculkan rasa percaya dan loyalitas. Dengan
modal ini, seorang fasilitator akan lebih mudah melakukan persuasi dan kontrol
terhadap peserta.
Pujian yang baik adalah pujian dengan cara yang
benar, yakni apa adanya alias tidak mengada-ada dan dilakukan dengan tulus.
Tidak perlu berlebih-lebihan, namun juga tidak “pelit” pujian. Ini dapat
dilakukan di sepanjang proses pembelajaran dengan berbagai bentuk seperti
acungan jempol, tepuk tangan, atau ungkapan “bagus, hebat, cerdas”. Intinya
adalah memberikan dukungan emosional terhadap apa yang telah dilakukan oleh
peserta, sekecil apapun, sehingga ia merasa dihargai.
buku tentang joyful learning ada gg y? pengarang dan judulnya apa? mohon bantuannya
BalasHapus