Headlines News :
Home » » KOSTRUKTIVISME

KOSTRUKTIVISME

Written By mutadi on Selasa, 05 Maret 2013 | 05.06



Mutadi, S.Pd., M. Ed.

Pendahuluan

            Pandangan teori transmission tentang “belajar” mengatakan bahwa ilmu pengetahuan (knowledge) dapat ditransfer dari guru atau buku teks ke siswa dengan menggunakan  bahasa (means of language). Transfer pengetahuan yang terjadi lebih diyakini banyak tergantung pada peran guru (teacher-centered) dan siswa cenderung bersifat pasif. Terkait dengan hal ini, para peneliti banyak yang mempertanyakan keefektifan cara tersebut, bahkan lebih jauh mengklaim cara ini tidak memberikan pemahaman yang sebenarnya (real understanding) pada diri siswa. Disamping, cara ini juga tidak memberikan kemampuan pada siswa untuk melakukan aplikasi terhadap pengetahuan yang dimilikinya (are not likely to lead to apply knowledge) dalam kehidupan sehari-hari (Fraser, 2003, h. 1).  
Beberapa tahun terakhir ini, para pengajar matematika dan ilmu pengetahuan alam di seluruh dunia mulai memberikan perhatian yang cukup besar pada model belajar/mengajar konstruktivis (constructivist learning/teaching model) sebagai jawab terhadap permasalahan di atas. Model belajar konstruktivis ini selanjutnya diharapkan mampu memberikan suatu bentuk pembelajaran/pengajaran yang lebih memberikan penekanan pada aspek pemahaman (promote learning with understanding).
            Esai  ini akan berfokus pada, pertama, pengertian konstruktivisme. Kedua, akan mengetengahakan tentang ciri-ciri pembelajran model konstruktivisme. Dan diakhiri dengan kesimpulan.

Konstruktivisme

Steve Lerman (dikutip: Mousley and Tytler, 1998, h. 5) berpendapat bahwa ahli psikologi Genewa -- Piaget -- dapat dikonsiderasikan sebagai bapak konstruktivisme (The father of constructivism). Dalam karyanya yang berjudul The Construction of Reality in the Child (1937), Piaget mempublikasikan hasil pengamatannya dalam pengajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam. Pengamatan yang dilakukannya lebih tertuju pada proses belajar (learning) ketimbang proses mengajar (teaching). Dari hasil pengamatan tersebut, Piaget berkesimpulan bahwa: “learning as personal knowledge construction, particularly in relation to science and mathematics” (belajar adalah proses konstruksi pengetahuan secara individual, terutama dalam ilmu pengetahuan alam dan Matematika).  

Kelas berbasis kostruktivis (classroom based on constructivist)

Dalam pengajaran matematika, gambaran kelas yang berbasis kostruktivis (the features of classroom based on constructivist principles) menurut Cobb, Yackel dan Wood (dikutip: Mousley, 1993 , h. 326)  adalah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, siswa aktif berpartisipasi dalam belajarnya, mengkonstruksi pengetahuan melalui cara pemahaman mereka sendiri (their ways of knowing). Kedua, siswa belajar berdasarkan pada pengalaman. Proses belajar terjadi ketika gagasan atau pengalaman yang ada diotaknya tertantang atau teradu (challenged) oleh pengalaman yang tengah dilakukannya. Dan konsep baru (new concepts) terbentuk dari hasil memasukkan kembali (restore) pengalaman yang baru ke dalam pengalaman atau gagasan lamanya.
Sementara menurut Mousley, Groves, and Begg (1998, h. 69) ciri pengajaran matematika yang berbasis konstruktivis adalah:

“Children are not passive recipients of knowledge; they interpret it, put structure into it and assimilate it in the light of their own mental framework. This means that the use of concrete materials in hands-on activities is not the only type of activity that is required for vthe development of mathematics concepts --- the focus of constructivism is mathematical activity”.

Pendapat lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Crawford dan Witte (1999, h. 34) bahwa kata yang menggambarkan kelas matematika konstruktivis adalah “energi. Siswa membawa energi yang sangat besar (tremendous energy). Guru dalam kelas konstruktivis mengarahkan energi ini dengan cara melibatkan siswa ke dalam proses belajar yang aktif. Kondisikan murid untuk belajar dengan melakukan (hands-on activities) ketimbang hanya  belajar lewat mendengarkan dari gurunya. Dorong mereka untuk berdiskusi dan bekerja dalam grup kecil (small group) dalam menemukan solusinya dan mereformulasikan konsep matematika mereka sendiri, ketimbang hanya mempraktekan rumus matematika sendirian.
Masih terkait dengan kelas berbasis konstruktivis, selanjutnya, Brooks (1999, h. 22) menyarankan bahwa mengorganisasi kelas konstruktivis adalah sebuah pekerjaan yang sulit bagi guru. Hal tersebut memerlukan kecermatan berfikir (rigorous intellectual), komitmen dan kerja keras. Seorang guru konstruktivis mengenali bahwa muridnya telah memiliki pengalaman masa lalu (prior experience). Sangat penting bagi guru konstruktivis untuk menghubungkan (connect) materi pelajaran dengan pengalaman masa lalu tersebut. Sehingga hal yang paling mendasar di sini adalah terletak pada pengalaman siswa (learner’s experience) itu sendiri, bukan pada rencana guru (teacher’s planning). Oleh karena itu sungguh akan menjadi sebuah pengajaran yang kontra produktif (educatinally contaproductive) apabila mengabaikan anggapan (suppositions) dan cara pandang (point of views) siswa.
            Untuk mewujudkan pandangan tersebut, Lovitt dan Clarke (1988, h. 5) menyarankan perlunya dilakukan reshaping current practice yang diperkaya dengan sejumlah pendekatan pengajaran baru (new practical approaches). Berikut merupakan alternatif reshaping current practice yang diharapkan dapat menjawab pandangan kelas berbasis konstruktivis tersebut.

                                               ·Problem solving and modelling
                                           · Teaching and learning in context
                                   ·Social issues                         ·Mental
                                ·Writing maths                            arithmetic
                                                                                                        
                               ·Visual
                                  imagery               CURRENT PRACTICE        ·Video

                                 ·Non-threatening  
                                   
learning environment                  · Applications
                                                            ·Estimation
                                ·Cooperative learning                           ·Calculator
                                          ·Information Technology in Maths
                             ·Classroom action research   


Peran guru (the role of teacher)
            Praktek pengajaran kelas konstructivis banyak bergantung pada peran guru itu sendiri (classroom teacher’s autonomous), proses pembelajarannya, dan pengambilan keputusan yang profesional (professional judgment). Kritik yang sangat mendasar yang dilontarkan oleh Brooks and Brooks (1999, h. 21) khususnya terhadap peran guru ini adalah: “as teachers we have great control what we teach, but far less control over what students learn”. Ole karena itu perlu diformulasikan sejumlah peran guru (the role of teacher) yang diarahkan agar guru memiliki control over what students. Berikut adalah sejumlah peran guru konstruktivis (Brooks and Brooks, 1999, h. 21) yang diharapkan mampu menjawab kritik tersebut.
1.      Constructivist teachers seek and value students’ point of view. Knowing what students think about concepts. It will helps teacher to formulate classroom lessons and differentiate instruction on the basis of students’ needs and interests. (Guru konstruktivis mencari dan menghargai pengalaman siswanya. Mengetahui bagaimana siswanya berfikir tentang konsep. Hal itu akan membantu guru untuk merumuskan pelajaran dan  menggunakan tehnik pengajaran yang berbeda sesuai dengan kebutuhan dan keinginan siswanya.)
2.    Constructivist teachers structure lesson to challenge students’ suppositions. All students come to the classroom with life experiences that shape their views about how their worlds work. Teachers permit students to construct knowledge that challenges their current suppositions, learning occurs. (Guru konstruktivis menyusun pelajarannya untuk menantang anggapan atau pandangan siswanya. Semua siswa datang ke kelas dengan membawa pengalaman hidupnya dan pengalaman hidupnya itu akan mempengaruhi cara berfikirnya)
3.    Constructivist teachers recognize that students must attach relevance to the curriculum. As students see relevance in their daily activities, their interest in learning grows. (Guru konstruktivis tahu bahwa siswanya perlu memadukan pengalaman hidupnya dengan kurikulum. Sebagai murid juga memahami bahwa yang ia pelajari ada relevansinya dengan kehidupannya sehari-hari, sehingga minat belajarnya tumbuh.)
4.      Constructivist teachers assess student learning in the context of daily classroom investigations, not as separate events. Students demonstrate their knowledge every day in a variety of ways. (Guru konstruktivis membawa murid belajar dalam konteks, bukan menyajikani sesuatu yang asing dalam kehidupannya. Murid mendemonstrasikan pengetahuannya dalam berbagi cara yang berbeda.).
Masih sejalan dengan peran guru konstruktivis Cobb (1998, h. 7) menambahkan bahwa: “the teacher’s role is typically characterized as that of facilitating students’ investigation and exploration”. (Peran guru adalah memfasilitasi penelitian dan penjelajahan siswanya).

Kesimpulan
            Ada tiga hal penting yang dapat ditarik dari pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika. Pertama, pembelajaran konstruktivis ini lebih menekankan pada aspek pembelajaran yang memberikan pemahaman yang sebenarnya (real understanding) pada siswa melalui aktivitas matematika (mathematics activities). Kedua, pembelajaran konstruktivis ini, juga, diharapkan mampu mendorong siswa untuk memiliki keahlian (skills) aplikasi pengetahuannya (lead to apply knowledge) dalam kehidupan sehari-hari. Terakhir, guru konstruktivis mencari dan menghargai pengalaman awal siswa (students’ prior knowledge) guna mendesain pembelajarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, M. G., dan Brooks, J. G., 1999, ‘The Courage Constructivist’, di Association for Supervision and Curriculum Development, The Constructivist Classroom: Educational Leadership, Deakin University Library, Melbourne, Volume 5 no. 3 November 1999, hal. 18-24.

Cobb, P., 1998, ‘Constructivism in Mathematics and Science Education’, di Deakin University, Constructivism and Learning in Science and Mathematics (Reader), Deakin University, Geelong-Victoria, hal. 7.
Crawford, M., dan Witte, M., 1999, ‘Strategies for Mathematics: Teaching in Context’, di Association for Supervision and Curriculum Development, The Constructivist Classroom: Educational Leadership, Deakin University Library, Melbourne, Volume 5 no. 3 November 1999, hal. 34-38.

Fraser, J. B., 1995, Constructivism (Paper presented at science and mathematics seminar,  Institute of Teacher Training and Education [IKIP] Jakarta, November 29-30, 1995), IKIP Jakarta, Jakarta.

Lovitt, C., dan Clarke, D., 1988, Mathematics Curriculum and Teaching Program: Professional Development Package (Activity Bank Volume 1), Curriculum Development Centre, Canberra.

Mousley, J.,  dan Tytler, R., 1998, ‘Constructivist Views of Learning’, di Deakin University, Constructivism and Learning in Science and Mathematics (Study Guide), Deakin University, Geelong-Victoria, hal. 1-11.

Mousley, J. A., 1993, ‘Constructivism: A New Way of Teaching Mathematics’, di Judith, M. Dan Marry, R., Mathematics: Of Primary Importance, The Mathematical Association of Victoria for the Thirtieth Annual Conference, December 2-3, 1993, Brunswick, Victoria, hal. 326-327.

Mousley, J., Groves, S., dan Begg, A., 1998, ‘Constructivism in Mathematics Education’, di Deakin University, Constructivism and Learning in Science and Mathematics (Study Guide), Deakin University, Geelong-Victoria, hal. 69-104.
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

WELCOME

Popular Posts

SpongeBob SquarePants

Visitor

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. DUNIA PEMBELAJARAN - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template