PENGEMBANGAN METAKOGNISI DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
disampaikan oleh : Dr. Theresia Laurens
dalam Seminar Nasional Matematika Juli 2011
PENDAHULUAN
Pembelajaran pada dasarnya merupakan
suatu proses yang kompleks yang memerlukan penanganan yang
professional,karena tidak hanya dibutuhkan penguasaan terhadap
keterampilan-keterampilan untuk mengajar tetapi juga penguasaan
terhadap apa yang diajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran
bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena keberhasilan pembelajaran
ditentukan oleh proses pembuatan dan pelaksanan keputusan . Pengambilan
keputusan dalam memilih strategi, memilih pendekatan materi serta
keputusan untuk melaksanakan apa yang dipilih merupakan proses yang
perlu dilakukan guru.
Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan Hunter (2004) bahwa :pembelajaran didasarkan pada premis
bahwa guru adalah pengambil keputusan. Seorang guru perlu
mempertimbangkan banyak hal dan kemudian memutuskan untuk memilih salah
satu yang yang terpenting, baik dalam membuat perencanaan, melakukan
pengajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran yang dilakukan.
Demikian juga dalam proses belajar, seorang pebelajar yang baik akan
mengawali aktifitas belajarnya dengan merencanakan apa yang akan
dilakukannya ketika ia belajar, dan akan memutuskan apakah ia menguasai
apa yang telah dipelajarinya. Pembelajaran yang terjadi merupakan suatu
aktifitas yang melibatkan proses reflektif terhadap apa yang dilakukan.
Ini menunjukkan bahwa proses reflektif atau perenungan merupakan sebuah
“tool” yang sangat berguna dan perlu dimiliki setiap tenaga pengajar maupun pebelajar.
Apabila ditinjau dari sudut pandang
pedagogic, maka refleksi atau perenungan pada dasarnya adalah pilar
utama metakognisi, sehingga pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
pembelajaran akan efektif bila didasarkan atas pertimbangan yang
bersifat metakognisi.
Metakognisi merupakan konsep
penting dalam teori kognisi yang secara sederhana didefinsikan sebagai
“memikirkan kembali apa yang telah dipikirkan”, bahkan ada ahli yang
menghubungkan metakognisi dengan fungsi eksekutif kontrol atau
pemrosesan informasi. Walaupun pendefinisiannya berbeda, namun secara
umum metakognisi merupakan kesadaran atau pengetahuan seseorang
terhadap proses dan hasil berpikirnya (kognisinya) serta kemampuannya
dalam mengontrol dan mengevaluasi proses kognitif tersebut. Menurut
Flavell (Livingstone(1979), de Soete (2004), Gama (2004), Panoura
(2006)) metakognisi terdiri dari pengetahuan metakognitif dan
pengalaman atau pengarahan metakognitif Pengetahuan metakognitif
merupakan interaksi antara tiga variabel yakni variabel individu (person variable), variabel strategi (strategy variable), dan variabel tugas (task variable).
Beberapa peneliti juga mengelompokkan keyakinan diri dalam komponen
pengetahuan metakognitif, dan pengalaman menggunakan proses kognitif
dikelompokkan dalam pengalaman metakognitif, karena pengalaman ini akan
memunculkan kesadaran terhadap apa yang kita pikirkan. Pengalaman
metakognitif sering di sebut juga sebagai strategi metakognitif yang
terdiri dari perencanaan, pemonitoran dan pengevaluasian terhadap
proses kognitif kita sendiri.
Dalam hubungannya dengan pembelajaran
matematika metakognisi dapat berperanan dalam membantu siswa
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Schoenfeld (1992)
terdapat 3 aspek metakognisi yang berbeda yang relevan dengan dalam
pembelajaran matematika, yaitu: (1). Keyakinan dan Intuisi (beliefs and intuitions).
Memiliki Ide-ide tentang matematika yang disiapkan untuk menyelesaikan
matematika dan bagaimana ide-ide tersebut membentuk cara untuk
memecahkan masalah, (2) Pengetahuan seseorang tentang proses
berpikirnya, dalam hal ini bagaimana seseorng menguraikan pemikirannya
secara tepat. Di sini dibutuhkan pemahaman tentang apa yang
diketahuinya, dan bagaimana menyelesaikan tugas yang dibuat, serta (3).
Kesadaran diri (Self awareness) atau Pengaturan diri (Self Regulation).
Bagaimana seseorang mengontrol apa yang telah dilakukannya, masalah
yang telah diselesaikan dan bagaimana baiknya ia menggunakan hasil
pengamatan untuk menyelesaikan masalahnya.
Aspek-aspek metakognisi yang dikemukakan
tumbuh dan berkembang dalam diri setiap individu, sejak kecil. Hal ini
dikemukakan oleh Vennman, dkk (2006) bahwa antara usia 3 dan 5 tahun
metamemori dan pengetahuan metakog nitif mulai berkembang dan
berlangsung seiring perkembangan usia, sedangkan keterampilan
metakognitif berkembang antara 8 dan 10 tahun dan berkembang pada
saat-saat dibutuhkan. Dengan demikian pada usia sekolah, anak-anak sudah
bisa memanfaatkan metakognisi mereka bahkan bisa ditumbuhkembang
melalui interaksi dengan orang lain.
Dalam hubungaannya dengan pembelajaran
matematika, pemanfaatan metakognisi dapat dilihat ketika siswa diminta
untuk mengemukakan ide-ide matematika, atau berdiskusi dalam kelompok.
Aktifitas metakognitif akan terjadi jika ada interaksi antara beberapa
individu yang membicarakan suatu masalah. Dalam proses penyelesaian
masalah matematika siswa tentunya memahami masalah, merencanakan
strategi penyelesaian, membuat keputusan tentang apa yang akan
dilakukan, serta melaksanakan keputusan tersebut. Dalam proses tersebut
mereka seharusnya memonitoring dan mengecek kembali apa yang telah
dikerjakannya. Apabila keputusan yang diambil tidak tepat, maka mereka
seharusnya mencoba alternatif lain atau membuat suatu pertimbangan.
Proses menyadari adanya kesalahan, memonitor hasil pekerjaan serta
mencari alternatif lain merupakan beberapa aspek-aspek metakognisi yang
perlu dalam penyelesaian masalah matematika.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa
peranan metakognisi sangat penting dalam proses penyelesaian masalah
maupun dalam proses pembelajaran matematika. Kenyataan yang terjadi
dalam banyak kelas matematika adalah pebelajar kurang memanfaatkan
metakognisi mereka ketika menyelesaikan masalah, sehingga mereka tidak
memahami apa yang dipelajarinya. Melalui aktifitas pembelajaran yang
dirancang dengan baik, akan muncul aspek-aspek metakognisi yang sangat
membantu pebelajar dalam memahami materi yang dipelajari maupun
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Permasalahan yang akan dibahas melalui
tulisan ini adalah bagaimana mengembangkan metakognisi pebelajar dalam
pembelajaran matematika. Pengembangan dimaksud adalah proses pemanfaatan
berbagai strategi yang dapat mengaktifkan metakognisi pebelajar pada
saat berlangsungnya proses pembelajaran khususnya pada pembelajaran
matematika.
PEMBAHASAN
Pengertian Metakognisi.
Metakognisi merupakan suatu
istilah yang dimunculkan oleh beberapa ahli psikologi sebagai hasil dari
perenungan mereka terhadap kondisi mengapa ada orang yang belajar dan
mengingat lebih dari yang lainnya. Metakognisi terdiri dari awalan
”meta” dan kata ”kognisi”. Meta merupakan awalan untuk kognisi yang
artinya ”sesudah” kognisi. Awalan ini digunakan Flavell (1976) untuk
memperkenalkan istilah metamemori dalam penelitiannya tentang proses
ingatan anak. Menurut Anderson dan Krathwohl (2001), penambahan awalan
“meta” pada kata kognisi untuk merefleksikan ide bahwa metakognisi
adalah “tentang” atau “di atas” atau “sesudah ” kognisi. Dengan demikian
secara harfiah metakognisi diartikan sebagai kognisi tentang kognisi,
pengetahuan tentang pengetahuan atau berpikir tentang berpikir. Di
samping pengertian metakognisi sebagai berpikir tentang apa yang
dipikirkan, ada peneliti yang menghubungkan istilah ini dengan pemikiran
yang bersifat reflektif (deSoete, 2001). Kata reflektif berasal dari
kata ”to reflect” artinya ”to think about”, sehingga
dapat dikatakan bahwa pengertian metakognisi hampir sama dengan
pengertian perefleksian terhadap apa yang dipikirkannya. Pengertian yang
sama juga dikemukakan Soedjadi (2007) bahwa berpikir reflektif lebih
cenderung ”ke arah diri” atau lebih cenderung ke arah metakognisi.
Istilah metakognisi yang diperkenalkan
Flavell mendatangkan banyak perdebatan dalam pendefinisiannya. Arti
metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang penelitian
psikologi, begitu juga tidak bisa diterapkan pada satu bidang psikologi
saja. Ketidakkonsistenan ini muncul karena para peneliti
mendefinisikannya sesuai dengan bidang penelitiannya. Menurut Flavell
(Yong & Kiong, 2006), “… metacognition refers to one’s knowledge
concerning one’s own cognitive processes and products or anything
related to them, …..metacognition refers, among other things, to the
active monitoring and consequent regulation and orchestration of these
processes in relation to the cognitive objects or data on which they
bear, usually in the service of some concrete goal.” Penjelasan ini
menunjukkan bahwa Flavel mendefinisikan aspek pertama dari metakognisi
sebagai pengetahuan seseorang terhadap proses dan hasil kognitifnya
atau segala sesuatu yang berhubungan dengannya, kemudian aspek kedua
dari metakognisi didefinisikan sebagai pemonitoran dan pengaturan diri
terhadap aktivitas kognitif sendiri.
Schoenfeld (1992) mendefinisikan metakognisi sebagai berikut: “metacognition
is thinking about our thinking and it comprises of the following three
important aspects: knowledge about our own thought processes, control or
self–regulation, and belief and intuition. Pengertian ini
menunjukkan bahwa metakognisi diartikan sebagai pemikiran tentang
pemikiran kita sendiri yang merupakan interaksi antara tiga aspek
penting yaitu: pengetahuan tentang proses berpikir kita sendiri,
pengontrolan atau pengaturan diri, serta keyakinan dan intuisi).
Interaksi ini sangat penting karena pengetahuan kita tentang proses
kognisi kita dapat membantu kita mengatur hal-hal di sekitar kita dan
menyeleksi strategi strategi untuk meningkatkan kemampuan kognitif kita
selanjutnya. Misalnya kita menyadari bahwa kita sering lupa atau kita
kurang memahami suatu konsep matematika dan kita sadar bahwa konsep itu
lebih sulit dibandingkan dengan konsep yang lain, dan untuk itu kita
perlu memilih cara tertentu (misalnya dengan menggaris bawahi pengertian
dari konsep tersebut ) yang menurut kita lebih membantu kita memahami
atau mengingat kembali apa yang kita lupa tadi.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
dikatakan bahwa metakognisi mengacu pada pengetahuan atau kesadaran
seseorang terhadap proses dan hasil berpikirnya. Metakognisi tidak sama
dengan kognisi, misalnya keterampilan yang digunakan untuk membaca
suatu teks berbeda dengan keterampilan memonitor pemahaman terhadap
teks tersebut. Metakognisi mempunyai kelebihan dimana seseorang mencoba
merenungkan cara berpikir atau merenungkan proses kognitif yang
dilakukannya. Dengan demikian aktifitas seperti merencanakan bagaimana
pendekatan yang diberikan dalam tugas-tugas pembelajaran, memonitor
kemampuan dan mengevaluasi rencana dalam rangka melaksanakan tugas
merupakan sifat-sifat alami dari metakognisi.
Secara
umum metakognisi memiliki komponen-komponen yang disebut sebagai
pengetahuan metakognisi dan pengalaman metakognisi. Pengetahuan
metakognisi adalah pengetahuan yang digunakan untuk mengarahkan proses
berpikir kita sendiri. Pengarahan proses berpikir ini dapat dilakukan
melalui aktivitas perencanaan (planning), pemonitoran (monitoring) dan pengevaluasian (evaluation).
Aktivitas aktivitas ini disebut juga sebagai strategi metakognitif atau
keterampilan metakognitif yang dapat membantu dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Misalnya dalam penyelesaian masalah matematika
ketika pengetahuan metakognitif terhadap suatu tujuan tertantang maka
akan melahirkan pengalaman metakognitif berupa perasaan sulit karena
pencapaian tujuan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Ketika menyadari tantangan tersebut dan pentingnya masalah tersebut
diselesaikan,dan timbul kesadaran untuk menyelesaikan dengan mencari
berbagai strategi, maka hal ini menunjukkan adanya pemanfaatan aktifitas
metakognitif.
Dalam hubungannya dengan penyelesaian
masalah matematika, beberapa peneliti (Yong & King, 2006; Panoura,
2005; Gama, 2004) mengemukakan bhawa keberhasilan seseorang dalam
menyelesaikan masalah turut dipengaruhi oleh aktivitas metakognisinya.
Penyelesaian masalah dalam matematika merupakan suatu proses mental yang
kompleks yang memerlukan visualisasi, imajinasi, manipulasi, analisis,
abstraksi dan penyatuan ide. Dalam proses penyelesaian masalah
matematika, terjadi interaksi antara aktivitas kognitif dan
metakognitif. Aktivitas kognitif terbatas pada bagaimana informasi
diproses untuk mencapai tujuan, sedangkan aktivitas metakognitif
penekanannya pada kesadaran seseorang terhadap apa yang dilakukannya.
Penyelesaian masalah akan diawali dengan bagaimana siswa mengenali
masalah tersebut, misalnya dengan membangun representasi mental dari
masalah yang dibaca, memutuskan bagaimana menyelesaikan masalah tersebut
sampai dengan bagaimana mengevaluasi hasil yang dibuatnya.
Hubungan aktivitas kognitif dan
metakognitif dikemukakan oleh Kayashima dan Inaba (2007) dalam suatu
model yang disebut sebagai model aktifitas metakognitif selama
berlangsungnya proses penyelesaian masalah. Model ini menggambarkan
bagaimana aktifitas kognitif yang diawali dari mengobservasi masalah
sampai dengan menemukan jawaban. Kemudian untuk membentuk aktivitas
metakognitif pebelajar perlu mengenali tujuan dan proses dari aktivitas
kogntif. Selama proses penyelesaian masalah berlangsung, pebelajar
mengobservasi pemikirannya pada tataran kognitif untuk mengevaluasi
proses tersebut dan mengarahkan aktivitas kognitifnya. Ia mengevaluasi
apakah proses penyelesaian masalah berjalan dengan baik atau tidak. Jika
proses tersebut diputuskan ”tidak baik”, maka secara berhati-hati
pebelajar menjejaki kembali aktivitas kognitifnya untuk memeriksa proses
tersebut, dan meneliti ingatan jangka panjangnya untuk mendapatkan
suatu informasi yang dapat digunakan untuk membuat penyelesaiannya
menjadi lebih baik.
Untuk mengetahui pemanfaatan aktivitas
siswa dalam menyelesaikan masalah perlu dilakukan suatu analisis
terhadap karakteristk-karakteristik metakognsi yang muncul ketika
berlangsungnya proses penyelesaian masalah. Karakteristik-karakteristik
tersebut dapat dianalisis atau dikonstruksi melalui suatu kajian
terhadap respons-respons yang diberikan siswa.
Dalam hubungannya dengaan pembelajaran,
Dawson & Fuhcer (2008) mengemukakan bahwa siswa-siswa yang
menggunakan metakognitifnya dengan baik akan menjadi pemikir yang
kritis, problem solver yang baik, serta pengambil keputusan yang baik
dari pada mereka yang tidak menggunakan metakognisinya. Di samping itu
Marthan & Koedinger (2005) menyatakan bahwa guru dapat meningkatkan
penggunaan strategi metakognitif dalam membahas suatu konsep yang baru
dengan mengingatkan kembali apa yang sudah diketahui siswa sebelumnya.
Strategi Pengembangan Metakognisi.
Metakognisi
merupakan suatu aktifitas mental yang tidak dapat diajarkan tetapi dapat
di”infuse” dalam pembelajaran atau pelatihan. Berkenaan
dengan pelatihan metakognitif, Osman & Hannafin (Nurdin, 2007)
mengemukakan bahwa kriteria pengklasifikasian strategi pelatihan
metakognitif yaitu pendekatan pelatihan (training approach) dan
hubungannya dengan materi pelajaran (relation to lesson content).
Strategi-strategi pelatihan metakognitif berdasarkan pendekatannya, ada
yang melekat (embedded) atau tergabung dalam isi pelajaran dan ada yang diajarkan secara terpisah (detached) dari materi pelajaran. Berdasarkan hubungannya dengan konten/isi pelajaran, strategi mungkin tergantung pada (dependent on), atau bebas dari (independen of) konten/isi pelajaran. Strategi content-dependent terfokus secara eksplisit pada konsep-konsep yang dipelajari dari konten khusus. Sebaliknya strategi content-independent adalah bebas dari konten, yakni strategi umum yang tidak spesifik pada materi-materi pelajaran tertentu.
Selanjutnya Nurdin (2007)
mengemukakan beberapa contoh strategi guru dalam meningkatkan kemampuan
metakognitif siswa, antara lain: (1). Mintalah siswa untuk memonitor apa
yang mereka pelajari dan pikirkan, termasuk memonitor pekerjaan
temannya dalam kelompok, (2). Mintalah mereka untuk mengungkapkan
kembali informasi yang disajikan dalam text yang dibaca, (3). Mintalah
siswa untuk mengajukan suatu pertanyaan, (4). Meminta siswa untuk
bagaimana mentransfer pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam
menghadapi masalah.
Pengajuan pertanyaan merupakan salah satu
strategi sederhana dalam mengembangkan metakognisi siswa. Hal ini dapat
dilakukan secara klasikal maupun secara individu atau kelompok dalam
bentuk pengajuan masalah. Beberapa strategi untuk mengembangkan
metakognisi seseorang menurut Blakey dan Spence (1990) adalah sebagai
berikut: (1). Mengidentifikasikan “apa yang anda tahu” dan “apa yang
anda tidak tahu.” Mengawali suatu aktivitas, siswa perlu membuat
keputusan yang disadari tentang pengetahuannya. Pertama-pertama siswa
menulis: “apa yang sudah saya ketahui tentang …,” dan “apa yang ingin
saya pelajari tentang ….” , (2). Menyuarakan pikirannya (Talking about thinking),
(3). Dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah, guru seharusnya
menyuarakan pikirannya sehingga siswa dapat mengikuti pendemonstrasian
proses berpikir tersebut. (4). Mengumpulkan pemikirannya dalam bentuk
jurnal. Jurnal atau catatan harian merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kemampuan metakognisi siswa. Melalui jurnal siswa dapat
merefleksikan pemikiran mereka dalam bentuk catatan tentang kesadaran
terhadap ketidakkonsistenan dan kebingungan mereka serta mengomentari
bagaimana mereka peduli dengan kesulitan yang dihadapi, (5). Perencanaan
dan Pengaturan Diri Sendiri (Self Regulation) Siswa sebaiknya
meningkatkan tanggungjawabnya dalam merencanakan dan mengatur
pembelajarannya sendiri, (6). Melaporkan kembali proses berpikir
tersebut (debriefing the thinking process). Aktivitas terakhir
dalam mendiskusikan proses berpikir adalah untuk mengembangkan
kesadaran terhadap strategi-strategi yang dapat diaplikasikan dalam
situasi pembelajaran yang lain, (7). Mengevaluasi diri (Self Evaluation).
Proses evaluasi diri dapat diperkenalkan melalui pertemuan-pertemuan
individual dan daftar pertanyaan yang berpusat pada proses berpikir.
Salah satu strategi menurut Kelly (2006)
yang digunakan dalam melatih siswa tentang pemikiran metakognitif dan
untuk membantu siswa menyelesaikan masalah secara kooperatif adalah
strategi THINK (Talk, How, Identify, Notice, Keeping). Proses
penyelesaian masalah akan diawali dengan membaca dan mencoba memahami
masalahnya atau membicarakan makna dari masalah tersebut, dalam hal ini
diistilahkan dengan “T–Talk.” Pada bagian ini mereka
menguraikan situasi yang terjadi dalam masalah dan menjelaskan apa yang
ditanyakan serta mengidentifikasikan informasi penting dalam masalah.
Selanjutnya difokuskan pada bagaimana masalah dapat diselesaikan atau
pada tahapan yang diistilahkan dengan “H–How,”.
Di samping bertukar pikiran (ide) untuk menyelesaikan masalah siswa
juga ditanyakan untuk memutuskan dan menjelaskan mengapa mereka berpikir
menyelesaikan masalah tersebut. Ketika mereka memperoleh ide untuk
menyelesaikaan masalah tersebut, selanjutnya dalam tahapan “I–Identify,”
diidentifikasikan strategi atau rencana penyelesaian masalah. Aspek
penting di sini adalah siswa diminta untuk berpikir dan mengevaluasi
kelebihan dan kelemahan dari rencana/strategi yang digunakan. Untuk
mengetahui pemahaman siswa, mereka diminta untuk memberitahukan
bagaimana strategi yang dipakai membantu menyelesaikan masalah, dan
tahapan ini disebut sebagai tahapan “N–Notice”. Tahapan dari strategi ini adalah siswa diminta untuk mengecek apa yang dilakukan melalui “K–Keep Thinking”
tentang masalah dan menentukan apakah penyelesaian masalah tersebut
bermakna. Menurut Kelly, berdasarkan hasil penelitiannya, penggunaan
panduan THINK merupakan salah satu alat latihan metakognisi untuk
menuntun interaksi antar siswa dalam menyelesaikan masalah.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa strategi pengembangan metakognisi adalah suatu cara yang dapat
digunakan untuk mengaktifkan dan meningkatkan metakognisi seseorang.
Guru dapat memilih strategi mana yang tepat dan ini tentunya di dasarkan
pada perefleksian terhadap berbagai pengalaman yang terjadi selama
proses pembelajaran. Di samping itu penilaian terhadap kemampuan
metakognisi seseorang dapat dilakukan selama aktivitas pembelajaran
berlangsung dengan mendengarkan pembicaraan siswa selama berdiskusi atau
merevieu jurnal yang dibuat berkaitan dengan pembelajaran.
Beberapa penelitian yang berkaitan
dengan metakognisi dalam pembelajaran matematika menunjukkan bahwa
metakognisi diperlukan dalam pembelajaran matematika, misalnya dalam
hubungannya dengan miskonsepsi, kesalahan dan hal-hal yang kurang dalam
mengembangkan ide-ide matematika. Dalam proses penyelesaian masalah
matematika siswa tentunya memahami masalah, merencanakan strategi
penyelesaian, membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan, serta
melaksanakan keputusan tersebut. Dalam proses tersebut mereka seharusnya
memonitoring dan mengecek kembali apa yang telah dikerjakannya. Apabila
keputusan yang diambil tidak tepat, maka mereka seharusnya mencoba
alternatif lain atau membuat suatu pertimbangan. Proses menyadari adanya
kesalahan, memonitor hasil pekerjaan serta mencari alternatif lain
merupakan beberapa aspek-aspek metakognisi yang perlu dalam penyelesaian
masalah matematika.
Menurut Sjuts (1999), keberhasilan dalam
pembelajaran matematika dapat diketahui melalui aktivitas metakognisi.
Beberapa aspek metakognisi dapat dikembangkan menggunakan strategi
pengembangan metakognitif, misalnya penyelesaian masalah secara
berpasangan (Pair Problem solving). Dalam pelaksanaannya satu
siswa berbicara mengenai masalah tersebut, menguraikan proses
berpikirnya, pasangannya mendengar dan menanyakan pertanyaan untuk
membantu mengklarifikasikan pemikirannya. Pasangan kolaborasi ini
disebut oleh Luis (2006) sebagai Thinker and Listener. Pasangan ini berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah.
Thinker bertindak sebagai orang yang
mencoba menyelesaikan masalah dengan menyuarakan pikiran sementara
Listener bertindak sebagai orang yang mendengarkan dan mengajukan
pertanyaan untuk mengecek kebenaran pemikiran dari pasangannya.
Pekerjaan kolaborasi sebagai bentuk pembelajaran yang praktis dapat
membantu siswa mengembangkan strategi metakognisi mereka. Artzt &
Armour Thomas, (Luis, 2006) mengemukakan bahwa setting kelompok kecil
dapat memunculkan pengungkapan kata-kata siswa secara spontan dan
memungkinkan mereka untuk meningkatkan idenya melalui pengujian yang
bersifat kritis.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan
bahwa dalam mengembangkan kemampuan metakognisi siswa diperlukan
beberapa strategi yang sebaiknya diterapkan dalam kelompok-kelompok
kecil. Salah satu strategi yang sederhana dalam mengembangkan
metakognisi siswa adalah melalui strategi pengajuan pertanyaan. Di
samping itu penilaian terhadap kemampuan metakognisi seseorang dapat
dilakukan selama aktivitas pembelajaran berlangsung dengan mendengarkan
pembicaraan siswa selama berdiskusi atau merevieuw jurnal yang dibuat
berkaitan dengan pembelajaran.
Pengembangan Metakognisi dalam Pembelajaran Matematika.
Berdasarkan berbagai strategi
pengembangan metakognisi di atas, maka salah satu strategi yang dapat
digunakan untuk membantu mahasiswa dalam memahami suatu konsep
matematika adalah melalui pembuatan Jurnal belajar. Hal ini didasarkan
juga pada kenyataan bahwa salah satu faktor kegagalan sebagian mahasiswa
adalah karena mereka tidak memiliki catatan tentang apa yang
dipelajarinya.
Jurnal belajar, sebagai istilah yang diterjemahkan dari learning journal merupakan
wadah yang memuat hasil refleksi dalam bidang pembelajaran. Dalam
kemendiknas (2010), dikatakan bahwa jurnal belajar tidak hanya
berorientasi pada pengembangan kemampuan akademis semata akan tetapi
diharapkan melalui kebiasaan menuliskan pengalaman belajar, peserta
didik tersebut terbiasa mengekspresikan perasaan, pemikiran ataupun
harapannya tentang pembelajaran yang diberikan guru. Dengan demikian
pembuatan Jurnal belajar lebih dekat sebagai alat untuk komunikasi dan
diseminasi informasi, temuan, pemikiran, hasil pengamatan tentang
pembelajaran. Tulisan dalam Jurnal dapat berupa kalimat-kalimat
sederhana, apakah itu penyelesaian soal mata pelajaran tertentu atau
bahkan hanya ungkapan bahwa peserta didik itu senang belajar hari itu
karena guru memberi kesempatan untuk mendiskusikan masalah yang menarik.
Beberapa pertanyaan yang diminta untuk di
jawab dalam jurnal belajar ketika mengakhiri perkuliahan adalah :
materi apa yang baru saja anda pelajari, apakah anda mengerti semua
materi tersebut, atau apakah ada materi yang tidak anda pahami, jika
ada, tuliskan materi tersebut.
Dari analisis terhadap beberapa jawaban
yang tertulis dalam Jurnal, diketahui bahwa ada kelompok mahasiswa yang
mengatakan memahami keseluruhan materi, ada yang mengemukakan bahwa
mereka memahami sebagian tetapi tidak ada yang mengatakan tidak memahami
sama sekali. Bagi mereka yang kurang memahami, mereka mengatakan bahwa
mereka akan bertanya pada teman atau mencari sumber yang lain, mencoba
mengerjakan tugas yang diberikan. Dari informasi yang tertulis, dapat
dilihat beberapa indikator pemanfaatan metakognisi seperti pengetahuan
tentang kelemahan diri sendiri dan memahami kelebihan orang lain, serta
pengetahuan tentang tugas-tugas yang diberikan.
Dalam proses pembelajaran, pemanfaatan
metakognisi dapat diketahui ketika mahasiswa diberi kesempatan
menyelesaikan masalah. Berikut salah satu contoh pengungkapan
pemanfaatan metakognisi dalam menyelesaikan soal persamaan diferensial.
Diberikan soal berikut.
Diketahui persamaan diferensial : , mempunyai penyelesaian :
dan . Carilah penyelesaiannya yang memenuhi kondisi :
Sebelum mahasiswa menyelesaikannya
mereka diminta untuk membaca sekitar 5 menit (tanpa menulis), kemudian
menjawab pertanyaan berikut: Apakah anda memahami soal tersebut?
Dapatkah anda menyelesaikannya? Setelah diberi kesempatan menjawab,
kemudian mereka diminta untuk menjawab pertanyaan lanjutan: Bagaimana
cara anda mengerjakannya? (mereka diberi kesempatan untuk
mengerjakan), Selesai mengerjakan, mereka diminta untuk menjawab
pertanyaan berikut. Apakah pertanyaannya sudah terjawab? Bagaimana anda
mengetahuinya? Apakah anda yakin dengan apa yang anda kerjakan?
Pertanyaan-pertanyaan terakhir berkaitan dengan pemanfaatan strategi
metakognitif khusunya pemonitoran dan pengevaluasian.
Dari analisis terhadap pekerjaan dan
jawaban yang diberikan, diketahui bahwa ada mahasiswa yang menyadari
bahwa mereka belum dapat menyelesaikan dengan baik, ada yang meyakini
kebenaran pekerjaannya dan ada yang tidak meyakini apa yang
dikerjakannya. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara tertulis aktifitas
metakognisi dapat terdeteksi, tetapi perlu dilanjutkan dengan wawancara
secara mendalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa mereka yang
memanfaatkan aktifitas metakognisinya dapat menyelesaikan masalah dengan
baik.
Kajian ini menunjukkan bahwa Jurnal
belajar sebagai salah satu strategi yang digunakan untuk mengaktifkan
metakognisi siswa dapat meningkatkan pemahaman terhadap materi yang
dipelajari, sekaligus merupakan bahan bagi dosen untuk merefleksikan
diri baik dalam mempersiapkan bahan ajar maupun pengajaran yang
dilakukan.
Di samping penggunaan jurnal, aktifitas
pemantauan metakognisi lain yang ditemui dalam kelas matematika adalah
melalui pembelajaran dalam bentuk kelompok. Beberapa aktifitas
metakognisi yang dapat di amati adalah mahasiswa membaca masalah,
menggaris bawahi dan melingkari beberapa kata. Ketika ditanyakan alasan
menggaris bawahi maupun melingkari kata-kata tersebut, mereka mengatakan
bahwa hal itu dilakukan untuk mempermudah dalam mengingat informasi
penting dalam masalah yang di baca. Ini menunjukkan bahwa secara sadar
mereka memanfaatkan strategi-strategi belajar.
Interaksi yang terjadi antara mahasiswa
juga memunculkan kesadaran mereka terhadap kesalahan yang di buat dan
memutuskan untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam proses ini
mereka saling memantau aktifitas berpikir mereka dan saling memperbaiki
kesalahan perhitungan maupun kesalahpahaman terhadap konsep yang
dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu cara memunculkan
kesadaran terhadap apa yang dilakukan adalah dengan strategi pemonitoran
kognitif yang dilakukan oleh orang lain melalui diskusi maupun
pemeriksaan terhadap hasil pekerjaan kita. Ketika kita menyadari
kesalahan kita, maka melalui pemanfaatan strategi pengevaluasian
kognitif kita dapat memutuskan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.
Pemanfaatan metakognisi secara baik akan membantu pebelajar maupun guru
dalam meningkatkan prestasi kerja merka.
PENUTUP.
Keberhasilan pembelajaran akan sangat
tergantung dari peranan guru sebagai pengambil keputusan. Pengambilan
keputusan dilakukan melalui perefleksian atau perenungan terhadap proses
pembelajaran yang akan dilakukan, mulai dari bagaimana merencanakan
pemebelajaran, melaksanakan pembelajaran dan mengakhiri pembebelajaran.
Aktifitas perefleksian merupakan salah satu indicator metakognisi yang
sangat berperanan dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Siswa yang
terlibat dalam proses belajar mengajar akan berhasil apabila
memanfaatkan semua komponen metakognisinya dalam mengikuti pembelajaran
maupun menyelesaikan masalah. Pengembangan metakognisi siswa dapat
dilakukan melalui pengajuan pertanyaan secara klasikal,
kelompok-kelompok kecil, berpasangan maupun secara individu maupun
kelompok. Di samping itu Melalui jurnal siswa dapat merefleksikan
pemikiran mereka dalam bentuk catatan tentang kesadaran mereka terhadap
ketidakkonsistenan dan kebingungan mereka serta mengomentari bagaimana
mereka peduli dengan kesulitan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA .
Anderson,O.W. & Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching, and Assessing (A Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives), Addision Wesley, Longman, New York.
Blakey, E. & Spence, S. 1990. Developing Metacognition, Clearinghouse on Information Resources Syracusa, New York.
Dawson, Th & Fucher, K 2008, Metacognition and Learning Adulthood, Contemporary Education Psychology, 11, 233-236.
Desoete, A. 2001. off-line metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities, Disertation, Universiteit Gent.
Flavell, J.H. 1976. Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive Developmental Inquiry, American Psychologist, 34, pp.906-911.
Gama, C. 2004. Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment, University of Sussex, http://www. Integrating Metacognition, diakses 15 September, 2006.
Hunter,M (2004), Enhanching Teaching, MacMillan College Publication, Co, New York.
Kayashima,M & Inaba,A. 2007. The Model of Metacognitive Skill and How to Facilitate Development of the Skill, Faculty of Arts and Education, Tamagawa University, Japan
Kelly, R.T. 2006. Teaching Problem Solving, Journal of Research in Mathematics Education, NCTM ,Reston,VA.
Kemendiknas, 2010, Panduan Penyusunan Jurnal Belajar, Program Bermutu , Jakarta.
Livingston, J.A. 1997. Metacognition: An Overview; available:
http:// www.qse.buffalo.edu/fas/schuell/cep564/metacog.htm, diakses, 20 September 2006.
Luis, T. etc. 2006. Thinker-Listener Pair Interactions to Develop Student’s Metacognitive Strategies for Mathematical Problem Solving ,Nanyang Technology University,Singapore.
Marthan, S & Koedinger, K, 2005,
Fostering the Intelligent novice: Learning from Error with Metacognitive
Tutoring, Educational Psychology, 89(4), 686-695.
Mudzakir, M.D. 1998. Metakognisi Dosen Dalam Proses Pembelajaran, Disertasi, Tidak dipublikasikan. Program PascaSarjana, Universitas Negeri Malang,
Nurdin. 2007, Model Pembelajaran yang Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif, Disertasi tidak dipublikasikan, Program Pascasarjana Unesa, Surabaya.
Panoura, A. dkk. 2005. Young Pupil’s Metacognitive Ability In Mathematics, European Research in Mathematics, Departeman Of Education, University of Cyprus,Cyprus.
Schoenfeld, A.1992. Hand Book of Researh on Mathematics Teaching and Learning, Mc Millan Co.New York.
Sjuts, J.L.1999. Metacognition in Mathematics Lessons,. Available : http://www/ web.doc.sub.gwdg.de/book/e/gdm/1999, index.html,pp.76-87, diakses 15 Maret 2006.
Veenman, M, 2006, Metacognition and
Learning: Conceptual and Methodological Consideration, Spinger Sciense
Book, Co, Netherland.
Yong, H.T.Y. & Kiong, L.N.K. 2006. Metacognitive Aspect of Mathematics Problem Solving, MARA University of Technology Malaysia, Kuala Lumpur.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !